Suharjantyo Nugroho
Widyaprada BBPMP Jawa Tengah
Menjelang satu abad kemerdekaan Indonesia, visi besar Indonesia Emas 2045 menempatkan pembangunan manusia sebagai prioritas utama. Untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul, indikator pendidikan menjadi tolok ukur strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045. Dua indikator utama—Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS)—ditetapkan sebagai Indikator Utama Pembangunan (IUP) untuk memantau kualitas sistem pendidikan di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota.
HLS mencerminkan ekspektasi lama sekolah yang dapat ditempuh oleh anak-anak di usia tertentu di masa depan, sementara RLS mengukur lama pendidikan aktual yang telah dicapai oleh penduduk usia 15 tahun ke atas. Peningkatan dua indikator ini sangat krusial dalam menciptakan generasi produktif dan kompetitif di tengah persaingan global. Namun, berbagai tantangan masih membayangi, salah satunya adalah tingginya jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS)—fenomena yang mencerminkan ketimpangan akses pendidikan, terutama di kalangan masyarakat miskin dan rentan.
* Blok berwarna kuning menunjukkan penuruan capaian
Sumber : jateng.bps.go.id
Provinsi Jawa Tengah menjadi cerminan nyata dinamika ini. Meski target HLS dan RLS telah ditetapkan secara ambisius dalam RPJPD 2025–2045, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 500 ribu anak usia 7–18 tahun tidak bersekolah setiap tahunnya. Tingginya angka ATS, rendahnya keberlanjutan pendidikan setelah jenjang menengah pertama, serta ketimpangan antarwilayah, menjadi tantangan yang memerlukan intervensi strategis dan kolaboratif lintas sektor.
Pada tahun 2024, Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk kelompok usia 7-12 tahun (setara SD) masih sangat tinggi, yaitu 99,57%. Namun, angka tersebut merosot tajam menjadi hanya 71,60% untuk kelompok usia 16-18 tahun (setara SMA). Ini mengindikasikan bahwa banyak anak tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab utama. Data menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin seringkali terpaksa bekerja untuk membantu keluarga. Kesenjangan ini tercermin jelas dalam capaian pendidikan. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduk dari kelompok 20% termiskin hanya 7,09 tahun, atau setara dengan tamat kelas 1 SMP. Angka ini sangat jauh tertinggal dibandingkan kelompok 20% terkaya yang RLS-nya mencapai 11,02 tahun.
Oleh karena itu, upaya pencapaian Wajib Belajar 13 Tahun bukan hanya agenda administratif, tetapi bentuk nyata komitmen nasional dalam menjamin pendidikan inklusif, berkeadilan, dan berkualitas. Meningkatkan HLS dan RLS sambil menurunkan ATS adalah kunci untuk membuka pintu menuju Indonesia yang benar-benar Emas.
Intervensi Prioritas Pemerintah
Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, pemerintah merumuskan beberapa program super prioritas:
- Wajib Belajar 13 Tahun
- Menambahkan 1 tahun PAUD ke dalam sistem wajib belajar nasional.
- Fokus pada penanganan ATS melalui peraturan presiden dan pendekatan satu atap PAUD-SD.
- Penanganan Stunting
- Intervensi spesifik berupa pemberian makanan tambahan, imunisasi, dan surveilans gizi.
- Intervensi sensitif seperti perbaikan sanitasi dan edukasi calon pengantin.
- Restrukturisasi Guru
- Pembenahan formasi, distribusi, dan kesejahteraan guru agar lebih merata dan berkualitas.
- Peningkatan Pendidikan Tinggi STEAM
- Pemanfaatan dana abadi pendidikan untuk memperkuat lulusan di bidang sains dan teknologi.
Ketimpangan dan Strategi Percepatan di Jawa Tengah
Sebagai salah satu provinsi dengan angka ATS tertinggi (552.033 anak pada 2023), Jawa Tengah menjadi fokus penanganan terobosan. Tantangan utama meliputi:
- Rendahnya partisipasi pendidikan lanjutan: Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurun drastis dari 99,57% (usia SD) menjadi 71,60% (usia SMA).
- Ketimpangan ekonomi: RLS untuk kuintil termiskin hanya 7,09 tahun, dibandingkan 11,02 tahun untuk kuintil terkaya.
- Sarana dan guru: Masih banyak ruang kelas rusak dan guru belum tersertifikasi, terutama di jenjang PAUD.
Menghadapi tantangan tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah menetapkan target pembangunan pendidikan yang ambisius dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025-2045:
- Target Harapan Lama Sekolah (HLS): Meningkat dari kisaran 12,97-13,00 tahun pada 2025 menjadi 14,48-14,49 tahun pada 2045.
- Target Rata-rata Lama Sekolah (RLS 15+): Meningkat dari 8,58-8,60 tahun pada 2025 menjadi 11,04-11,08 tahun pada 2045.
Untuk mengejar target ini, serangkaian strategi terobosan sedang dirumuskan. Salah satu program utamanya adalah Percepatan Wajib Belajar 13 Tahun, yang mencakup 1 tahun pendidikan pra-sekolah (PAUD) dan 12 tahun pendidikan dasar hingga menengah. Kebijakan ini bertujuan memastikan semua anak mendapat layanan pendidikan berkualitas dan menekan angka putus sekolah.
Selain itu, pemerintah juga berencana mengembangkan payung hukum berupa Peraturan Presiden (Perpres) untuk penanganan Anak Tidak Sekolah (ATS) secara sistematis. Langkah ini akan mencakup upaya pencegahan, pendataan, penjangkauan, hingga pengembalian anak ke layanan pendidikan. Upaya ini akan didukung dengan reformasi tata kelola guru untuk menjamin distribusi kualitas yang merata serta intervensi di sektor kesehatan untuk menangani stunting, yang terbukti berdampak pada kemampuan belajar anak.
Sinergi Pemerintah dan Pemangku Kepentingan
Koordinasi yang melibatkan Bappenas, Bappeda, BPS, Dinas Pendidikan, Kemendikdasmen melalui BBPMP serta pihak eksternal seperti UNICEF dan Ombudsman menegaskan pentingnya sinergi lintas sektor dan lintas level pemerintahan. Fokus utamanya adalah merumuskan strategi kolaboratif untuk menekan angka ATS, meningkatkan APS dan APM, serta memperluas akses pendidikan berkualitas hingga ke kelompok masyarakat termiskin.
Penutup
Meningkatkan Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) bukanlah sekadar memenuhi angka dalam laporan pembangunan, tetapi merupakan upaya kolektif untuk menjamin masa depan bangsa. Di tengah bonus demografi yang semakin menyempit dan tantangan global yang kian kompleks, Indonesia tidak memiliki ruang untuk membiarkan jutaan anak terpinggirkan dari sistem pendidikan.
Penanganan Anak Tidak Sekolah (ATS) harus menjadi agenda prioritas, bukan hanya dalam bentuk program formal, tetapi melalui pendekatan lintas sektor: dari intervensi sosial, penguatan infrastruktur pendidikan, hingga perubahan budaya terhadap pentingnya sekolah. Di sisi lain, penyelarasan indikator pendidikan dalam RPJPN dan RPJPD menjadi fondasi kebijakan yang harus dipegang teguh oleh pemerintah pusat hingga daerah.
Tantangan ini besar, tetapi peluangnya lebih besar. Dengan komitmen yang kuat, strategi yang terintegrasi, dan kolaborasi yang erat antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, target-target Indikator Utama Pembangunan (IUP) dalam bidang pendidikan bukan mustahil untuk dicapai. Dan ketika itu terjadi, bukan hanya statistik yang meningkat—tetapi lahirlah generasi Indonesia yang benar-benar siap menyongsong abad kedua kemerdekaan dengan penuh daya saing dan martabat.
Indonesia Emas bukan mimpi, melainkan hasil dari pendidikan yang diperjuangkan hari ini. (SNW)