Kalau dengar istilah computational thinking alias berpikir komputasional, pikiran kita biasanya langsung ke komputer, koding, atau dunia digital. Padahal, esensi dari berpikir komputasional bukan di komputernya, tapi di cara kita menyusun langkah, menganalisis masalah, dan menemukan solusi yang logis dan sistematis.
Nah, menarik kalau kita coba bandingkan: gimana sih anak-anak era 80-an melatih kemampuan ini dibandingkan anak-anak masa sekarang?
Anak 80-an: Belajar dari Keterbatasan
Di tahun 80an komputer masih barang langka. Mainan kebanyakan tradisional: kelereng, dakonan, ular tangga, atau bikin mainan sendiri dari bahan seadanya.
Justru dari situlah pola pikir sistematis terbentuk. Main dakonan misalnya, butuh strategi dan perhitungan langkah. Main kelereng? Ada logika posisi dan probabilitas. Belum lagi ketika mainan rusak, anak-anak harus kreatif memperbaikinya dengan apa yang ada.
Keterbatasan membuat anak-anak terbiasa sabar, tekun, dan kreatif mencari solusi. Mereka berlatih berpikir komputasional tanpa sadar, hanya lewat aktivitas sehari-hari.
Anak Zaman Now: Semua Serba Cepat
Lompat ke generasi hari ini, situasinya jauh berbeda. Anak-anak lahir di tengah banjir teknologi: gadget, internet, aplikasi, game. Hampir semua hal bisa diakses dalam hitungan detik.
Dari sisi positif, mereka cepat terbiasa dengan logika digital. Misalnya, memahami pola di game atau aplikasi sudah jadi bagian dari keseharian. Bahkan belajar koding pun terasa lebih natural karena sejak kecil mereka terbiasa “klik-klik” dengan pola tertentu.
Tapi ada sisi lain: banyak yang jadi terbiasa instan. Satu klik di Google dapat jawaban, satu ketukan layar dapat hiburan. Tantangan yang muncul: kedalaman berpikir dan daya tahan dalam menyelesaikan masalah bisa berkurang.
Bukan Siapa yang Lebih Hebat
Kalau dibandingkan, jelas beda:
Anak 80-an: terbatas, tapi kreatif dan tahan banting.
Anak zaman now: serba canggih, tapi gampang tergantung pada kemudahan.
Pertanyaannya bukan siapa yang lebih unggul, tapi bagaimana kita bisa mengambil sisi baik dari keduanya.
Anak 80-an menunjukkan betapa keterbatasan bisa melahirkan kreativitas. Anak zaman now menunjukkan betapa kelimpahan bisa membuka peluang baru. Keduanya punya poin.
Menggabungkan Dua Dunia
Idealnya, anak-anak sekarang dapat tetap menikmati kemudahan teknologi, tapi juga belajar nilai dari proses: sabar, kreatif, dan mampu menghadapi masalah tanpa selalu mencari jalan pintas.
Jadi, berpikir komputasional bukan cuma soal koding atau aplikasi. Berpikir komputasional ini dapat tumbuh dari bermain tradisional, menyelesaikan masalah sehari-hari, sampai memanfaatkan teknologi digital.
Generasi 80-an dan generasi sekarang sama-sama punya “alat” untuk berpikir komputasional, hanya jalannya berbeda. Tugas kita adalah meramu keduanya: mengajarkan kesabaran dari keterbatasan, sekaligus memanfaatkan peluang dari kelimpahan teknologi.
Karena pada akhirnya, yang dibutuhkan bukan sekadar anak yang pintar klik-klik layar, tapi anak yang mampu berpikir jernih, kreatif, dan tahan banting menghadapi tantangan zaman. (ptt)
(Diskusi kolabotasi penulis bersama KA)