By: Dr. MRT (Dr. Mampuono R. Tomoredjo, S. Pd., S. Pd., M. Kom.)
Langit desa membentang biru, terhampar seperti lembaran batik yang belum ternoda. Sawah-sawah membentang di bawahnya, menggelitik angin yang lewat. Tapi bagi Genta, bocah kurus dengan mata redup yang sering menatap tanah, langit biru dan sawah hijau hanyalah latar kosong yang tak berarti. Di balik keindahan itu, hidupnya terasa bagai gurun tandus, dipenuhi debu kebencian dan ejekan.
Enam tahun perkawinan orang tua Genta, Rini dan Rusdi, seolah menjadi kisah pilu yang tak pernah menemukan akhir bahagia. Sejak awal, rumah tangga mereka dipenuhi dengan bara konflik yang tak kunjung padam. Apa pun yang mereka lakukan selalu berakhir dengan percekcokan. Bahkan, sejak kelahiran Genta, api yang dulu kecil kini menyala besar, membakar habis sisa-sisa cinta yang pernah ada di antara mereka. Bukannya menyambut Genta dengan kasih sayang, mereka justru menyalahkannya. Di mata mereka, Genta adalah anak pembawa sial. Anak yang menjadi biang keladi dari kehancuran rumah tangga yang sudah di ambang kehancuran.
Pertengkaran paling hebat terjadi beberapa hari setelah usia Genta menginjak lima tahun. Rini, dengan suara yang menggelegar seperti halilintar, menuduh Rusdi tidak pernah menjadi suami yang baik. “Kamu pikir aku tak tahu? Kamu keluar rumah sampai malam, pulang dengan bau perempuan lain! Dan sekarang kamu menyalahkan Genta? Anak ini tidak meminta untuk lahir, Rusdi!” teriak Rini dengan kata-kata yang menusuk.
Rusdi, bukannya meredakan situasi, malah memperkeruh keadaan. “Jangan sok suci, Rin! Kamu sendiri sudah tak layak disebut istri. Setelah anak ini lahir, kamu berubah jadi wanita pemarah yang tak pernah puas!” Teriakan itu menggema di rumah kecil mereka, seperti guntur yang tak henti-hentinya merobek langit.
Rusdi akhirnya memilih pergi. Dengan langkah berat namun tanpa sedikit pun rasa bersalah, ia meninggalkan Rini dan Genta. Saat pintu rumah tertutup di belakangnya, Rini merasa seluruh dunia runtuh di hadapannya. Hatinya hancur berkeping-keping. Suaminya, yang dulu berjanji akan selalu bersamanya, kini memilih wanita lain. Perasaan sinis dan kebencian terhadap Rusdi semakin mendalam. “Kalau kau pikir aku akan hancur tanpa dirimu, Rusdi, kau salah besar!” seru Rini dalam hatinya, mencoba menguatkan diri di tengah badai emosinya yang berkecamuk. Tapi di balik kemarahan itu, ada sejumput rasa putus asa yang tak bisa ia hilangkan.
Tak lama setelah kepergian Rusdi, Rini juga menyerah pada nasib. Tanpa mempedulikan Genta, ia menikah lagi. Seolah ingin membuktikan bahwa ia bisa melanjutkan hidup tanpa pria yang dulu ia cintai. Namun pernikahan barunya tidak membawa kebahagiaan. Alih-alih menemukan pelipur lara, Rini semakin terbenam dalam kekosongan. Ia menikahi pria yang bahkan tidak benar-benar ia cintai, hanya karena rasa dendam.
“Kalau Rusdi bisa hidup bahagia dengan wanita lain, kenapa aku tidak?” pikirnya dengan nada sinis yang pahit. Tapi, keputusan itu justru membuatnya semakin jauh dari Genta.
Hari itu selepas bermain Genta sampai di rumah, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Di dapur, suara panci dan wajan tak terdengar, padahal biasanya Rini, ibunya, selalu sibuk menyiapkan makan malam untuk keluarga barunya. Kali ini, rumah terasa kosong, seolah-olah ada sesuatu yang hilang.
Dengan rasa penasaran, Genta melangkah ke dalam rumah. Sepasang sandal jepit yang basah karena embun pagi masih tersandar di dekat pintu. Sandal itu milik Rini. Genta merasakan hatinya berdegup kencang. “Ada apa ini?” pikirnya.
“Bu…?” Genta memanggil dengan nada ragu. Tak ada jawaban.
Kakinya terus melangkah, melewati ruang tamu yang berantakan dengan mainan dan buku-buku pelajarannya yang biasanya dibereskan oleh ibunya masih berserakan di lantai. Ketika ia tiba di kamar ibunya, hatinya terasa semakin berat. Pintu kamar itu setengah terbuka, dan dari celah pintu, Genta bisa melihat sesuatu yang tak biasa. Ada tas besar di atas tempat tidur, terbuka lebar dengan pakaian yang sudah dilipat rapi di dalamnya.
“Ibu akan pergi?” gumam Genta dalam hati.
Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar dari arah kamar mandi. Genta menoleh, dan di sana berdirilah Rini, ibunya, dengan wajah pucat dan mata yang sembab. Matanya bertemu dengan tatapan Genta, dan seketika, suasana menjadi begitu tegang.
“Genta…” suara Rini bergetar. “Ibu harus pergi. Maafkan Ibu.”
Genta terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Dadanya serasa dipukul keras oleh kenyataan yang tak pernah ia duga.
“Maksud Ibu… pergi?” Genta akhirnya bertanya, suaranya terdengar serak dan penuh kebingungan.
Rini menunduk, menghindari tatapan anaknya. “Ibu akan ikut suami Ibu yang baru pindah ke luar kota. Kami harus mulai hidup baru di sana.”
Hati Genta seketika meledak. Hidup barunya? Di mana tempat untuk dirinya? Genta ingin berteriak, ingin melontarkan semua amarah dan kekecewaannya, namun lidahnya terasa kelu. Kata-kata seakan tersangkut di tenggorokan, tertahan oleh rasa sakit yang begitu mendalam.
“Tapi… bagaimana denganku, Bu?” Genta bertanya dengan suara pelan, hampir tak terdengar.
Rini menatap Genta dengan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Maaf, Genta… Kamu tahu bahwa tempatmu di sini. Di desa ini, bersama kakek buyutmu.”
“Bersama kakek buyut?” tanya Genta sinis, senyuman pahit terbentuk di sudut bibirnya. “Kakek buyut yang bahkan tak peduli padaku? Yang lebih memperhatikan cucu-cucunya yang lain?”
Rini hanya bisa menunduk, menahan isakan yang hampir pecah. “Maafkan Ibu, Genta. Ibu tak bisa membawamu. Hidup kami juga tak mudah.”
Genta merasa dunianya runtuh. Lagi-lagi ia harus menghadapi kenyataan pahit. Ibunya, satu-satunya orang yang ia harap bisa memberinya sedikit kasih sayang, kini memilih pergi. Genta tak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya diam, menahan segala macam perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
___
Genta kecil tumbuh di bawah asuhan Karta Wijoyo, seorang kakek buyut yang keras bagai batu karang. Meski begitu, di balik sikap dinginnya, masih tersisa sedikit rasa kasih sayang yang samar untuk cucunya. Genta tak pernah benar-benar merasakan kehangatan keluarga. Ibunya sibuk dengan kehidupan barunya, sementara ayahnya hilang entah kemana, tak pernah kembali.
Satu-satunya suara yang kerap ia dengar setiap hari adalah keluhan Karta tentang bagaimana generasi muda sudah tak punya sopan santun. Tapi Genta tak pernah mengeluh. Ia tahu hidupnya sudah ditakdirkan untuk penuh kesepian. Meski begitu, jauh di dalam hatinya, ada sebuah luka yang tak pernah sembuh—sebuah luka yang diakibatkan oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya.
Namun perlahan Genta menyadari, sejatinya kasih sayang sang buyut itu bukan untuk Genta. Ketika semua cucu lain mendapat perhatian, Genta hanya diberi sisa-sisa, seperti nasi basi yang terpaksa dimakan saat tak ada pilihan lain.
“Hai, Genta! Coba kau pakai baju itu!” seru Karta Wijoyo suatu hari menjelang lebaran.
Genta dengan penuh harap memungut baju baru yang baru saja dijahitkan oleh sang kakek. Di desa, baju baru saat lebaran adalah segalanya. Segera dikenakannya baju itu dengan penuh rasa bangga. Tapi saat tangannya nyaris memasang semua kancing baju, suara tegas membelah udara.
“Lepaskan itu sekarang juga!”
Genta membeku. Karta Wijoyo berdiri dengan tangan terlipat, matanya menatap tajam. “Itu untuk Anjar. Bukan untukmu.”
Tanpa sepatah kata, Genta melepaskan baju itu, menyerahkannya pada sepupunya, Anjar, yang tersenyum penuh kemenangan. Kecewa, marah, dan terluka, Genta tak bisa berkata apa-apa. Di rumah itu, ia tahu posisinya bukan siapa-siapa.
Keadaan di luar rumah tak jauh berbeda. Di kalangan teman-teman sebayanya, Genta dijadikan bahan olok-olok. Mereka memanggilnya “Den Bagus Tahi Kering”—julukan yang selalu membuatnya merasa rendah. Ini karena kakek duitnya masih ada jalur keturunan Keraton namun dia bukanlah cucu buyut langsung dari kakek buyutnya.
“Den Bagus Tahi Kering! Hahaha!” Bayu, salah satu anak yang paling sering mengejek Genta, tertawa keras sambil menunjuknya.
Genta menggertakkan giginya. Ia ingin melawan, ingin berteriak bahwa ia juga punya harga diri, tapi setiap kata yang ingin keluar selalu terhenti di tenggorokan. Dunia terlalu kuat untuk seorang bocah kecil sepertinya.
“Kenapa aku? Kenapa aku selalu jadi sasaran?” tanya Genta dalam hati, tak habis pikir mengapa nasib selalu menekannya.
Tak hanya ejekan, tubuh kecil Genta juga sering menjadi sasaran pukulan. Arta, anak yang lebih besar darinya, mendorongnya ke tanah suatu hari. “Pukul dia! Lihat, dia takkan berani melawan!” teriak Arta.
Genta tersungkur. Ia tak punya tenaga untuk melawan. Bukan hanya karena tubuhnya lemah, tapi karena jiwanya sudah terlalu lama terhimpit oleh derita.
Pulang ke rumah, Genta hanya bisa menahan tangis. Rumah itu, yang seharusnya menjadi tempat paling aman, malah berubah menjadi tempat yang lebih dingin daripada udara malam yang menusuk.
Namun, ada satu tempat yang memberi Genta rasa aman, rumah Paman Aryo. Di rumah kecil paman dari pihak ibunya itu, Genta menemukan sedikit kehangatan. Meskipun kehidupan Paman Aryo tak jauh beda dari keluarganya yang miskin, di sana Genta merasa dihargai.
“Genta, hidup ini memang tak adil. Tapi kau harus tetap kuat,” kata Paman Aryo suatu malam ketika mereka duduk di beranda.
“Tapi kenapa selalu aku yang diperlakukan seperti ini?” tanya Genta, suaranya bergetar.
“Karena orang-orang yang lemah seringkali menjadi sasaran,” jawab Paman Aryo. “Tapi orang yang kuat tidak lahir begitu saja. Mereka ditempa oleh luka dan penderitaan, seperti dirimu sekarang. Dan ketahuilah, sesungguhnya ada dzat yang Maha Kyat. Itulah Tuhan. Sandakan diarium pada-Nya.”
Kata-kata Paman Aryo menancap di hati Genta. Di usianya yang masih muda, ia mulai memahami bahwa hidup bukan hanya soal meratapi nasib, tapi soal bagaimana ia bisa bertahan.
Namun, dunia luar tetaplah kejam. Setiap kali Genta berjalan di desa, ia selalu merasa pandangan orang-orang menghujamnya. Ia sering pergi ke pinggiran desa, berjalan menyusuri sawah yang hijau dan hutan yang rindang. Di sana, alam menjadi sahabatnya. Pohon-pohon yang menjulang seolah berbicara padanya.
“Kau tahu,” Genta berbicara pada pohon besar di pinggir hutan, “mereka tidak menyukaiku. Tapi kau? Kau selalu berdiri di sini tanpa menghakimi.”
Pohon itu, yang sudah berumur ratusan tahun, seakan mengangguk pelan ditiup angin. Angin yang lembut menyapu wajah Genta, seolah menenangkan hatinya yang selalu luka.
“Ah, kalau saja dunia ini seperti angin yang lembut,” pikir Genta. “Tidak ada yang kasar, tidak ada yang menyakiti.”
Dalam kesendiriannya, Genta sering berbicara pada alam. Langit, pohon, angin, mereka adalah teman-temannya yang paling setia. Setiap kali orang-orang melukainya, alam adalah tempat ia bisa merasa aman.
Tapi rasa aman itu tidak bertahan lama. Hari demi hari, ejekan dan kekerasan semakin sering ia terima. Hingga suatu hari, Genta tak tahan lagi. Namun, kali ini Genta tahu bahwa ia tak boleh terus larut dalam perasaan rendah diri dan menjadi pecundang. Rasa sakit dan kecewa yang selama ini ia pendam justru semakin menebalkan lapisan pertahanannya. Meski seringkali dunia ini terasa seperti pisau yang menghujam hatinya, Genta mulai sadar bahwa ia harus bangkit. Ia tak bisa selamanya diam dan membiarkan dirinya menjadi korban.
“Sudah cukup!” teriaknya di depan sekelompok anak yang baru saja mendorongnya.
Anak-anak itu terkejut. Mereka tak pernah mendengar Genta berteriak. Mereka biasa melihatnya diam dan menerima. Tapi kali ini, Genta tak ingin diam lagi.
“Apa kau bilang?” tanya Bayu dengan nada sinis.
“Aku bilang, cukup!” Genta menatap mereka dengan tatapan yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.
Meski tubuhnya kecil, dalam diri Genta ada kekuatan baru yang mulai bangkit. Sebuah kekuatan yang lahir dari luka-luka yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun. Ia tahu bahwa ia tak bisa terus menerus menjadi korban.
“Ayo kita lihat seberapa berani kau, Den Bagus Tahi Kering,” ejek Bayu.
Tapi Genta tidak mundur. Meskipun tubuhnya gemetar, ia menatap Bayu dengan tatapan yang tegas. “Aku bukan Den Bagus Tahi Kering. Aku Genta. Dan aku tak akan biarkan kalian menyakitiku lagi.”
Di dalam hatinya, Genta tahu bahwa ia baru saja membuat keputusan besar. Mungkin hari ini ia masih lemah, tapi suatu hari, ia akan tumbuh menjadi sosok yang lebih kuat dari siapa pun yang pernah menyakitinya.
Genta berdiri tegap, napasnya memburu, namun matanya tak lagi menyiratkan ketakutan. Ia memandang ke sekeliling, ke wajah-wajah yang sebelumnya hanya menertawakannya. Sekarang, mereka tampak ragu. Bayu yang tadi paling lantang mencemooh, kini mundur setengah langkah, merasa janggal melihat Genta yang tak lagi tunduk.
“Apa? Kau mau coba melawan sekarang?” tanya Bayu, suaranya sedikit bergetar meski ia berusaha terdengar tetap angkuh.
“Bukan coba. Aku akan melawan,” jawab Genta dengan nada yang tenang namun tajam, seperti bilah pedang yang siap menebas. “Sudah cukup kalian memperlakukanku seperti ini. Aku bukan mainan kalian.”
Bayu tertawa kecut, “Hah! Kau pikir siapa yang akan membantumu? Kakek buyutmu yang tua itu? Atau ibumu yang meninggalkanmu? Hanya anak sial sepertimu yang bisa berpikir bisa melawan.”
Namun, kali ini kata-kata tajam Bayu tidak lagi menusuk seperti dulu. Mereka berjatuhan seperti hujan yang menghantam batu karang, tak lagi membuat Genta goyah. “Aku tidak butuh siapa pun untuk berdiri. Aku punya diriku sendiri dan Tuhan. Dan itu lebih dari cukup.”
Suaranya tegas, setiap kata diucapkan dengan keyakinan yang membuat anak-anak lain semakin ciut. Mereka saling pandang, dan perlahan-lahan, rasa percaya diri yang mereka miliki runtuh, terhisap oleh keberanian yang mulai mengalir deras dari tubuh Genta. Seseorang di antara mereka, Yudi, mencoba melangkah maju untuk mendukung Bayu, tetapi begitu melihat tatapan Genta yang sekeras baja, langkahnya tersendat.
“Kau pikir kami akan takut pada bocah kurus sepertimu?” Bayu kembali berusaha mengambil kendali. Namun, kali ini suaranya semakin terdengar lemah.
“Bukan masalah takut atau tidak,” kata Genta sambil maju selangkah, membuat Bayu dan kawan-kawannya semakin gentar. “Tapi aku sudah lelah. Lelah membiarkan kalian berpikir bahwa kalian bisa menginjak-injak harga diriku. Mulai sekarang, kalian tidak akan bisa lagi.”
Keheningan menggantung di udara seperti kabut tebal yang mencekam. Bayu tak tahu harus berkata apa. Meski mulutnya ingin kembali mengeluarkan ejekan, hatinya mendesak untuk mundur. “Kalian dengar? Kalau masih mau mencoba, datanglah! Tapi aku tidak akan mundur lagi. Kali ini aku akan melawan.”
Sekelompok anak-anak itu tidak lagi memiliki keberanian yang mereka tunjukkan sebelumnya. Langkah-langkah mereka terdengar berat ketika mereka perlahan mulai mundur, satu per satu. Bayu, yang biasanya menjadi pemimpin, kini tampak kecut, memandang Genta dengan rasa bingung dan takut. Tak ada satu pun dari mereka yang mengira bocah yang dulu selalu diam bisa menunjukkan kekuatan sebesar ini.
“Kita pergi,” bisik Yudi ke telinga Bayu. Bayu menoleh, masih dengan tatapan bimbang, namun akhirnya mengangguk. “Ayo, kita pergi dari sini.”
Mereka berbalik, berjalan menjauh, meninggalkan Genta yang masih berdiri tegak. Angin sore berhembus perlahan, membawa pergi sisa-sisa ketakutan yang dulu pernah menguasai Genta. Kini ia tahu, bahwa selama ini, yang ia butuhkan bukanlah kekuatan fisik, tetapi keberanian untuk berdiri melawan.
Saat anak-anak itu menghilang dari pandangan, Genta tersenyum kecil, sebuah senyum kemenangan, meski hatinya masih terasa sesak dengan luka-luka lama. Tapi kali ini, ia tidak lagi menjadi korban. Genta telah berdiri untuk dirinya sendiri, dan itu adalah awal dari keberanian yang tak akan pernah lagi padam.
Di tengah perjalanan pulangnya dari sawah, ia menatap langit yang perlahan berubah jingga. Matahari perlahan-lahan tenggelam di balik bukit, namun sinarnya yang tersisa seakan berbicara kepadanya. “Aku pun akan tenggelam, Genta,” bisik matahari dalam imajinasinya, “tapi besok aku akan terbit lagi. Kamu juga bisa seperti itu. Jangan biarkan gelap merampas cahaya dalam dirimu.”
Genta tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. Namun, ada semacam kelegaan yang ia rasakan setiap kali berbicara dengan alam. Di sinilah ia merasa benar-benar dimengerti. Pohon-pohon tak pernah menghakiminya, angin tak pernah mengejeknya, dan matahari tak pernah meninggalkannya di saat ia butuh harapan.
—
Malam itu, Genta duduk sendiri di luar rumah. Angin malam berhembus pelan, membawa dingin yang menusuk tulang. Di hadapannya, bintang-bintang berkelap-kelip di langit, namun malam yang tenang itu tak mampu meredakan gejolak di dalam hatinya. Pikirannya melayang jauh, memikirkan nasibnya yang kian tak menentu.
Dalam kesunyian itu, Genta berbisik pada dirinya sendiri, “Apakah aku ini seburuk itu hingga tak seorang pun ingin peduli padaku? Bahkan ibu sendiri lebih memilih hidup baru tanpa aku.”
Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan hatinya yang semakin tersesat. Tidak ada jawaban yang bisa memuaskan perasaannya, hanya kekosongan yang semakin mendalam. Genta ingin melupakan semuanya, tapi kenangan buruk itu terus menghantuinya, seperti bayangan yang tak pernah pergi.
Namun, di tengah kegelapan pikirannya, ia teringat kata-kata Paman Aryo. “Kamu harus kuat, Genta. Hidup ini memang tidak adil, tapi kamu bisa melampaui semua itu. Ada Tuhan yang membimbingmu,” Kata-kata itu terngiang lagi, seperti mantra yang pelan-pelan membangkitkan sedikit kekuatan dalam dirinya.
“Ya Allah. Aku harus kuat,” bisiknya lagi. “Aku tidak boleh kalah dengan keadaan.”
Hari-hari berlalu, ibunya telah lama pergi dan ia harus berjuang sendiri. Genta kembali menjalani hidupnya yang sepi, namun kali ini ia merasa sedikit berbeda. Ada semacam tekad baru yang mulai tumbuh dalam hatinya. Meski dunia telah begitu kejam padanya, ia sadar bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan menjadi lebih kuat.
Genta mulai menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar. Ia sering pergi ke rumah Paman Aryo untuk meminjam buku-buku lama yang tersimpan di rak kayu yang usang. Buku-buku itu menjadi teman setianya, memberikan jendela kecil ke dunia lain yang lebih luas, dunia yang penuh harapan. Ia juga mengaji pada seorang kyai di kampung sebelah. Cakrawala pemikirannya buat lebih luas dan dia menjadi lebih paham tentang makna kehidupan.
“Paman, aku ingin sekolah yang tinggi suatu hari nanti,” kata Genta suatu sore, ketika mereka duduk bersama di depan rumah.
Paman Aryo tersenyum tipis. “Itu impian yang baik, Genta. Tapi ingat, jalanmu tidak akan mudah. Kamu harus bekerja keras, lebih keras daripada mereka yang punya segalanya.”
Genta mengangguk, menyadari kebenaran kata-kata pamannya. Ia tahu bahwa kehidupannya tidak seperti anak-anak lain yang hidup dalam kenyamanan. Namun, justru itulah yang membuatnya semakin yakin bahwa ia harus berjuang lebih keras.
—
Bertahun-tahun kemudian, Genta tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangguh. Meski tubuhnya tak sebesar anak-anak lain yang hidup lebih naaman, namun tekadnya jauh lebih kuat. Meskipun kenangan masa lalu masih menyakitkan, ia tak lagi membiarkan dirinya terhanyut oleh penderitaan. Dunia yang dulu terasa seperti penjara kini ia pandang sebagai medan pertempuran di mana ia harus memenangkan pertarungan demi hidup yang lebih baik.
Namun, hidup tak pernah berhenti memberinya ujian. “Janganlah kamu mengatakan dirimu beriman sebelum kamu diuji,“ demikian salah satu firman Allah pernah dia baca di dalam kitab suci. Dunia masih saja menyodorkan tantangan demi tantangan yang harus dihadapi. Meski begitu, Genta kini bukan lagi bocah kecil yang tak berdaya. Ia telah belajar, bahwa sekeras apa pun kehidupan, ia akan selalu mampu berdiri tegak. Sebab, seperti matahari yang terbenam di senja hari, ia selalu yakin bahwa esok ia akan terbit kembali, membawa harapan baru yang tak pernah padam.
Di balik setiap jejak langkah yang ia tinggalkan, Genta tahu bahwa dirinya bukan hanya sedang berjalan menuju masa depan, tapi juga meninggalkan luka-luka yang perlahan sembuh di sepanjang perjalanan hidupnya.
==================================
Sampangan, Semarang, 13 Oktober 2024 21.00 WIB.
Ditulis dengan Strategi Tali Bambuapus Giri (Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI) yang merupakan pengembangan terbaru dari metode Menemu Baling (Menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga).
Dari Kumpulan Cerpen Tali Bambuapus Giri.