Dua Ayat Pengingat bagi Guru Agar Jarkoni Tak Lagi Lekat

Oleh Dr. MRT

Ditulis dengan strategi Tali BambuApus Giri

Pendahuluan 

Dalam era teknologi dan kecerdasan buatan (AI) , peran guru semakin kompleks. Guru bukan hanya penyampai informasi, melainkan juga pilar pembentukan karakter siswa. Dalam konteks ini, konsep “Ing Ngarso Sung Tulodho” oleh Ki Hajar Dewantara muncul sebagai panduan penting. Memiliki guru yang bukan hanya ahli akademis tetapi juga figur yang patut digugu lan ditiru (dipercaya ucapannya dan diteladani tingkah lakunya) krusial. Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi konsep ini dan mengingatkan tentang bahaya perilaku “jarkoni” yang dapat merusak hubungan antara guru dan siswa, serta bagaimana nilai-nilai spiritual dapat menjadi landasan utama agar seorang guru bisa dijadikan teladan.

Guru   itu Digugu lan Ditiru 

Sejak zaman dahulu hingga kita mencapai sebuah  era kemajuan teknologi yang dipenuhi dengan berbagai kecanggihan kecerdasan buatan (AI) dan kondisi dunia yang setiap saat serba berubah dengan drastis dan hampir tidak terbendung ini, peran guru tidak hanya sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai pilar yang membentuk karakter dan moral siswa. Oleh karena itu, seorang guru di era ini sebaiknya bukan hanya memiliki keahlian akademis dan keterampilan teknologi, melainkan juga menjadi figur yang patut digugu dan ditiru. 

Konsep Ki Hajar Dewantara, “Ing Ngarso Sung Tulodho,” yang menekankan keteladanan, semakin relevan dalam konteks pendidikan saat ini. Guru yang mampu menjadi teladan dalam pengetahuan, ketrampilqn, integritas, kebijaksanaan, dan pengembangan kepribadian siswa tidak hanya menciptakan lingkungan belajar yang positif tetapi juga mempersiapkan generasi yang mampu menghadapi dinamika perubahan dalam masyarakat yang semakin terkoneksi.

Dalam membahas konsep guru yang bisa digugu lan ditiru, terdapat keterkaitan dengan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang guru ideal. Ki Hajar Dewantara, dalam konsep “Ing Ngarso Sung Tulodho,” menekankan pentingnya keteladanan sebagai elemen kunci dalam membentuk karakter siswa. Guru yang mempraktikkan prinsip ini tidak hanya memberikan arahan dari depan tetapi juga memperlihatkan nilai-nilai positif dan integritas dalam tindakan sehari-hari.

Seorang guru ideal perlu memiliki pengetahuan mendalam dalam bidangnya (kompetensi profesional) dan keterampilan komunikasi yang baik untuk menyampaikan materi secara efektif (kompetensi pedagogik). Disamping itu, keterampilan interpersonal (kompetensi kepribadian dan sosial) menjadi kunci agar guru dapat memahami dan merespons kebutuhan siswa dengan baik. Dalam konteks konsep Ki Hajar, seorang guru yang bisa digugu lan ditiru tidak hanya berfokus pada aspek akademis, tetapi juga pada pengembangan karakter dan sikap positif.

Selain syarat-syarat teknis, keteladanan dan kemampuan untuk menginspirasi siswa menjadi unsur penting. Guru yang memiliki integritas, beradaptasi dengan perkembangan jaman, dan memiliki empati terhadap keberagaman siswa akan sehingga bisa melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung perkembangan holistik siswa. Dengan demikian, terjalinlah hubungan antara konsep Ki Hajar Dewantara dan syarat-syarat yang harus dimiliki guru, di mana keduanya menekankan pentingnya peran guru sebagai figur inspiratif dan teladan dalam membentuk generasi maju, pintar, dan  berkarakter.

Guru Jangan Jarkoni

Menjadi seorang guru bukan sekadar menjalankan tugas mengajar, tetapi melibatkan peran yang jauh lebih besar: menjadi contoh yang baik atau uswatun hasanah bagi siswa, sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya. Ini adalah panggilan untuk menciptakan dampak positif dan membentuk karakter bahkan budaya dan peradaban. Sebagai pewaris nilai-nilai luhur, seorang guru tidak hanya menuntut siswanya untuk belajar, namun ia sendiri harus terus menerus berada di garis terdepan pembelajaran. Barang siapa berani mengajar, dia tidak boleh berhenti belajar; inilah filosofi yang mendasari konsep bahwa guru adalah pelajar sepanjang hayat.

Guru yang memiliki kesadaran akan keberlanjutan dalam belajar bukan hanya mengikuti kewajiban profesional, tetapi melibatkan diri dalam perjalanan rohaniah dan intelektual yang tanpa henti. Hal ini selaras dengan prinsip Undang -undang Guru dan Dosen yang menegaskan bahwa seorang guru profesional adalah pembelajar sepanjang hayat, yang tak pernah berhenti mengejar ilmu. Pemahaman akan urgensi nomor satu dalam urusan belajar mengirimkan pesan bahwa guru harus selalu berada di garda terdepan dalam memperoleh pengetahuan baru, sehingga dapat menginspirasi dan memberikan yang terbaik bagi siswa.

Namun, menjadi guru yang bisa dijadikan teladan tidak semata-mata tentang pengetahuan dan keterampilan akademis. Konsep ini mengajarkan agar seorang guru juga tidak terjerat dalam perilalu jarkoni (akronim bahasa Jawa: iso ujar, iso kongkon nanging ora nglakoni), yaitu mampu mengucapkan dan menyuruh tetapi tidak melakukannya. Ketidak-konsistenan antara kata dan tindakan dapat merusak esensi dari konsep guru yang bisa digugu dan ditiru atau “Ing Ngarso Sung Tulodo”. Guru Jangan Jarkoni menjadi panggilan untuk menjauhkan diri dari praktik ini dan memastikan bahwa setiap ajaran yang disampaikan juga tercermin dalam tindakan sehari-hari.

Perilaku jarkoni, seperti yang dijelaskan dalam konsep di atas dapat mengakibatkan kehilangan kepercayaan siswa dan meruntuhkan hubungan antara guru dan siswa. Oleh karena itu, guru harus menjauhkan diri dari praktik ini dan memastikan bahwa setiap ajaran yang disampaikan juga tercermin dalam tindakan. Hal ini bukan sekadar menjaga integritas pribadi, tetapi juga memastikan bahwa lingkungan belajar yang dihadirkan guru tetap sehat dan inspiratif.

Untuk menghindari menjadi guru yang jarkoni, landasan pada nilai-nilai spiritual menjadi kunci penting. Kesadaran akan nilai-nilai seperti integritas, ketulusan, dan tanggung jawab spiritual dapat membimbing guru dalam menjaga konsistensi antara ajaran yang disampaikan dan tindakan sehari-hari. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dalam setiap langkahnya, seorang guru dapat membangun hubungan yang kokoh dengan siswa dan menciptakan lingkungan belajar yang penuh dengan  kreativitas, penemuan, gagasan, aspirasi, autonomus learning,  inspirasi, dan bahkan kebahagiaan lsejati dalam proses belajar sepanjang hayat. Dengan demikian, menjadi contoh sebagai pembelajar sepanjang hayat bagi para siswanya tidak hanya berlandaskan pada pengetahuan akademis, tetapi juga pada nilai-nilai spiritual yang mendalam. Akhirnya, terbentuklah budaya belajar yang akan membawa negeri ini mencapai zaman keemasannya, diperkuat oleh generasi pembelajar sejati yang terus-menerus mencari ilmu untuk kemajuan negeri.

Dua Ayat oPengingat

Dalam suasana batin bangsa Indonesia yang religius perintah belajar bahkan merupakan wujud dari religiusitas. Jika kita mau meneliti lebih lanjut akan kita temukan bahwa seluruh agama yang dipeluk oleh masyarakat di Indonesia mengajarkan bahwa belajar adalah perintah ketuhanan atau perintah ilahiyah. Ini menjadi menarik ketika dalam perjalanan pembelajaran yang dialami oleh penulis ketika mencari nilai-nilai spiritualitas dalam belajar penulis ternyata menemukan bahwa ada ayat-ayat di dalam kitab suci Alquran yang mengkritisi bahkan mengancam para pelaku perilalu jarkoni. Dan tanpa disadari perilaku jarkoni ini kadang-kadang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. 

Penulis dalam tulisan ini akan mencoba mengeksplorasi konsep ini dan bagaimana kita yang terhubung erat dengan aktivitas pendidikan dan belajar menyikapinya. Dalam hal ini, penulis menyoroti dua ayat Al-Qur’an yang bisa penulis anggap sebagai ayat pengingat, khususnya bagi dirinya dan siapapun yang bergerak di dunia pendidikan termasuk guru atau stakeholder lainnya. Kedua ayat itu adalah surat Al-Baqarah ayat 44 dan surat Ash-Shaff ayat 3. 

Dalam ajaran Islam, perbuatan baik dan kebajikan tidak hanya diwujudkan dalam perintah kepada orang lain, tetapi juga menuntut pelaksanaan dalam kehidupan pribadi. Ayat-ayat ini menjadi pengingat bagi umat Muslim, bahkan umat manusia, untuk tidak hanya menyuruh kebajikan, melainkan menjalankan ajaran tersebut dalam setiap aspek kehidupan mereka. Mereka mencerminkan nilai-nilai mendalam yang mengajarkan bahwa kebajikan sejati dimulai dari diri sendiri sebelum disebarkan kepada orang lain.

Lebih jauh, esensi melakukan kebajikan secara pribadi sebelum menyerukan hal serupa kepada orang lain mencuat ke dimensi universal. Dua ayat Al-Qur’an yang akan dijelaskan selanjutnya tidak hanya menjadi panduan bagi umat Muslim, tetapi juga menyimpan nilai-nilai yang memiliki relevansi dan aplikabilitas di seluruh lapisan masyarakat dan berbagai konteks budaya. Ayat-ayat ini mencerminkan prinsip-prinsip universal yang merangsang kebijaksanaan dan keadilan dalam setiap perbuatan.

Yang pertama adalah surat Al-Baqarah ayat 44 terutama di bagian awalnya.  Bagian awal ayat ini berbunyi “Mengapa kamu suruh (manusia) berbuat kebajikan, padahal kamu melupakan diri (kewajiban)mu, padahal kamu membaca Al-Kitab? Tidakkah  kamu  berpikir? … ” Bagian iini menekankan supaya kita tidak hanya memberikan perintah kebajikan kepada orang lain, tetapi juga mewajibkan pelaksanaan ajaran tersebut dalam kehidupan pribadi. Ayat ini merupakan kritikan Tuhan kepada kita yang membangunkan refleksi, menanyakan apakah mereka yang menyampaikan ajaran benar-benar merenung atau berpikir baik-baik ketika menyuruh orang lain berbuat baik sementara melupakan diri sendiri. 

Sementara Surat As-Shaff ayat 3 yang berbunyi  “’Sesungguhnya amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” menguatkan konsep ini dengan menyatakan kebencian Tuhan terhadap mereka yang menyatakan tetapi tidak melaksanakan. Oleh karena itu, sebagai guru atau pendidik, penting untuk tidak hanya mengajar kebajikan kepada murid, tetapi juga mengaplikasikannya secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai contoh konkret, ketidak-konsistenan seorang guru yang gencar mendorong muridnya untuk belajar tanpa memberikan teladan belajar pribadi sendiri menciptakan disonansi moral. Guru yang hanya memberi instruksi tanpa mengikuti kewajiban untuk terus belajar sendiri dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Ketika guru meminta murid untuk mengembangkan empat kompetensi, yakni sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan dengan mempelajari 10 lebih buku tebal yang berganti setiap tahun, namun dirinya tidak secara aktif memperbarui pengetahuan dan keterampilannya, bahkan hanya satu buku yang dia baca terus menerus  selama berpuluh-puluh tahun hal tersebut dapat dianggap sebagai ketidaksetiaan terhadap ajaran yang diemban.

Paradoks ini semakin mencolok ketika melihat tanggung jawab guru yang tidak hanya mengajarkan materi akademis tetapi juga membentuk kepribadian dan sikap sosial siswa. Seorang guru, yang juga memiliki empat kompetensi sebagaimana dimiliki muridnya, yaitu kepribadian, sosial, pedagogik, dan profesional, harus menjaga konsistensi dalam belajar agar tidak terperangkap dalam perilaku “jarkoni.” Pemahaman mendalam terhadap materi pembelajaran, keterampilan pedagogis yang terus berkembang, serta kesadaran akan dinamika sosial menjadi kunci utama agar seorang guru tetap menjadi teladan yang konsisten dan memiliki dampak positif dalam proses pendidikan.

Sebagai refleksi diri, guru memiliki tanggung jawab untuk meneladani dan mengamalkan nilai-nilai kebajikan ini. Terkadang, dalam rutinitas mengajar, seorang guru dapat terfokus pada penyampaian materi dan perintah kepada murid, lalu melupakan esensi menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dua ayat Al-Qur’an ini menjadi pengingat penting bagi guru agar tidak hanya menjadi penyampai ilmu, tetapi juga menjadi teladan yang konsisten dalam amal perbuatan baik. Guru yang terus berupaya mengembangkan pengetahuan dan sikap positif, sejalan dengan nilai-nilai agama, akan memberikan dampak positif pada generasi yang dididik. Inilah esensi dari perintah ketuhanan dalam Islam, yang mengajarkan betapa pentingnya refleksi diri sebagai bentuk pengamalan ajaran kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dua ayat tersebut memberikan pengingat bahwa sebagai pendidik, tidak hanya penting untuk menyampaikan ajaran kepada murid, tetapi juga untuk mengamalkannya dalam tindakan dan sikap pribadi sehari-hari. Sebagai contoh, jika seorang guru ingin mengajarkan murid-muridnya untuk belajar, maka guru tersebut seharusnya menjadi teladan dengan terlebih dahulu belajar sendiri.

Penutup

Dua ayat Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah ayat 44 dan Surat Ash-Shaff ayat 3, memberikan pengingat yang sangat relevan untuk para pendidik. Keduanya menekankan bahwa menjadi guru yang menginspirasi tidak cukup hanya dengan menyampaikan ajaran, tetapi juga harus mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pendidik, kita harus menjauhi perilaku “jarkoni” dan secara konsisten meneladani nilai-nilai kebajikan. Dengan memahami dan mengaplikasikan konsep ini, guru dapat memberikan dampak positif yang mendalam pada generasi yang dididik, membentuk budaya belajar yang sehat, dan meraih kemajuan sejati dalam pendidikan. Dengan demikian cita-cita Indonesia emas yang bisa  menyejajarkan posisi generasi Indonesia duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan generasi negara maju lainnya akan benar-benar terwujud nyata.

***

(Penulis, Dr. MRT atau Dr. Mampuono R. Tomoredjo, M. Kom. adalah widyaprada BBPMP Jawa Tengah, Ketum PTIC (Perkumpulan Teacherpreneur Indonesia Cerdas), dan penggerak literasi dengan Strategi Tali Bambuapus Giri atau Implementasi Literasi Produktif Bersama dalam Pembuatan Pustaka Digital Mandiri Berbasis AI dengan memberdayakan metode Menemu Baling atau menulis dengan mulut dan membaca dengan telinga. Penulis juga pernah menjadi juara Guru Inovatif Asia Pasific Microsoft yang terus berbagi tentang penggunaan ICT Based Learning ). Salam Guru Melek AI!


Layanan Prioritas
Kelompok Rentan

Helpdesk
Kemdikbud