Suharjantyo Nugroho
Widyaprada BBPMP Jawa Tengah
Pernyataan Mendikdasmen Abdul Mu’ti baru-baru ini mengenai penggunaan Kecerdasan Artifisial (KA) yang tidak bijak menjadi pengingat penting bagi dunia pendidikan dan masyarakat luas. Dalam ceramahnya pada acara Dies Natalis ke-60 Universitas Negeri Semarang , beliau menyoroti bahwa KA bisa menjadikan manusia bukan semakin “cerdas” namun malah menjadi semakin “culas” , yaitu cenderung malas berpikir, oportunistik, dan tidak bertanggung jawab, jika digunakan secara sembarangan.
Isu ini sangat relevan di era digital saat ini, ketika teknologi berkembang jauh lebih cepat daripada kesiapan etika dan literasi masyarakat dalam menggunakannya.
KA: Antara Alat Cerdas dan Jalan Pintas
KA seperti ChatGPT, Gemini, CoPilot maupun KA Generatif lainnya sejatinya dirancang untuk meningkatkan efisiensi, kreativitas, dan produktivitas manusia. Dalam dunia pendidikan, KA bisa menjadi asisten pengajaran, pemberi umpan balik instan, bahkan pelatih pribadi yang bisa diakses kapan saja.
Namun, kenyataannya di lapangan mulai menunjukkan sisi gelap: siswa menyalin jawaban dari KA tanpa memahami konsep, guru menjadi terlalu bergantung pada sistem otomatisasi, bahkan informasi palsu bisa tersebar luas karena KA menghasilkan teks yang tampak meyakinkan tapi belum tentu benar.
“Virus Viralisasi” dan Krisis Keaslian
Mendikdasmen menyebut fenomena virality virus, yaitu kecenderungan masyarakat untuk lebih mementingkan viralitas daripada kualitas atau kebenaran. Ini adalah kecenderungan di mana tujuan utama penggunaan teknologi adalah untuk menjadi viral. Dalam konteks ini, KA menjadi alat yang sangat ampuh. Kemampuannya untuk menghasilkan teks, gambar, dan video dalam sekejap dapat dieksploitasi untuk menciptakan konten yang menarik perhatian secara massal, seringkali dengan mengorbankan kebenaran, etika, dan kedalaman informasi.
Dalam ekosistem media sosial yang diwarnai algoritma atensi, KA kerap digunakan untuk membuat konten cepat saji, clickbait, atau manipulatif yang justru memperburuk literasi kritis publik. Kita melihatnya setiap hari: judul-judul clickbait yang dilebih-lebihkan, informasi yang dipelintir demi drama, hingga penyebaran hoaks yang dirancang sempurna untuk memancing emosi. Ketika metrik keberhasilan adalah jumlah suka dan bagikan, maka substansi dan integritas menjadi korban pertama. Manusia tidak lagi didorong untuk berpikir kritis, melainkan didorong untuk mencari cara paling licik agar tampil menonjol.
Selain itu, conformity atau tekanan sosial untuk seragam juga menjadi tantangan baru. Kita secara tidak sadar terkurung dalam “gelembung informasi” atau echo chamber, di mana kita jarang sekali bertemu dengan sudut pandang yang berbeda. Hal ini mematikan kemampuan berdialog dan berempati. Media sosial yang seharusnya menjadi wadah interaksi justru bisa berubah menjadi arena permusuhan, tempat orang-orang menyerang siapapun yang berbeda pandangan. Orang takut berbeda pendapat, bahkan di ruang digital. Padahal pendidikan seharusnya mendorong keberagaman cara pandang dan nalar kritis.
Sikap ini bukanlah cerminan kecerdasan, melainkan ketertutupan dan perilaku antisosial yang tumbuh subur dari kenyamanan digital.
Menjawab Tantangan: KA + Etika = Masa Depan Beradab
Solusinya bukan menjauhkan KA dari dunia pendidikan, melainkan mendidik manusia agar cakap menggunakan KA dengan bijak dan bertanggung jawab. Ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil:
- Literasi KA Sejak Dini
Sekolah dan universitas perlu memasukkan modul literasi KA dalam kurikulum. Siswa harus tahu tidak hanya cara menggunakan, tapi juga dampak sosial, etika, dan batasannya.
- Desain Tugas yang Mendorong Orisinalitas
Guru dapat mendesain penilaian yang bersifat reflektif, diskursif, dan berbasis pengalaman, sehingga tidak mudah dijiplak atau diselesaikan sepenuhnya oleh KA.
- Regulasi dan Panduan Etika Penggunaan KA
Pemerintah dan institusi pendidikan perlu menyusun panduan jelas tentang kapan, bagaimana, dan untuk tujuan apa KA boleh digunakan. Singapura dan Uni Eropa sudah memulai ini lewat AI Governance Framework dan AI Act.
- Penguatan Karakter dan Nilai-Nilai Kemanusiaan
Pendidikan karakter tetap menjadi fondasi utama. Teknologi boleh canggih, tapi manusia tetap harus menjadi pemegang kendali, bukan sebaliknya.
Penutup
Keculasan digital bukanlah hasil dari KA itu sendiri, melainkan dari cara manusia menggunakannya. Seperti pisau, KA bisa menyelamatkan atau melukai tergantung siapa yang menggunakannya dan untuk tujuan apa. Maka, tugas kita sebagai pendidik, pembuat kebijakan, dan masyarakat adalah memastikan bahwa KA menjadi alat bantu kemanusiaan bukan pengganti kemanusiaan itu sendiri.
Mari kita didik generasi mendatang agar menjadi cerdas, bukan hanya secara teknis, tapi juga secara etis dan moral. (SNW)
