Tirta Nursari
Sungguh, mereka tak sedang bersamaku
Bahkan kedua tanganku takkan mungkin menjangkaunya
Meski hatiku berkata betapa ingin aku merengkuhnya
bentang jarak ribuan kilo memisahkanku dengan mereka
Namun aku mendengar lolong itu begitu nyata
Namun aku melihat mata itu begitu sempurna
Namun, maafkan aku, saat kutersadar diri, betapa papa diriku
Palestina
Bumimu membanjir darah di tengah gersang tiada hujan
kilat-kilat apimu tak jua berhenti bersama desing peluru, kesiung mortir
dan dentum bom yang menjelma orkestrasi tak berjiwa
tanpa irama
sementara gempita takbir bersaut silih dengan lolong dan pekik tangis
antara kesakitan dan kepasrahan pada kuasa Tuhan
tentang jihad dan kepapaan, dan berpenggal cerita tentang ketakberdayaan
tubuh-tubuh sekarat meregang nyawa
Dari balik rumah-rumah rakyat
Dari balik tembok sekolah
Dan balik dinding rumah sakit yang tak lagi menjadi ruang aman di tengah perang
Bayi-bayi terampas dari susu ibunya
Anak-anak tak lagi hangat dalam dekap ibunda
Gelayut manja lepas pula dari lengan ayahnda
Ooohhhh…. Ini bukan lagi perang sekadar perang
Tapi genosida keparat penuh birahi hancurkan umat
Oooh… ini dendam kesumat dan keserakahan yang telah mengurat
Dalam pedih perih dan ngilu hatiku
Ingin kukirim sepotong lagu
Sebagai penghiburan atas luka laramu
Sayang, tak kutemu satupun lagu
yang pantas kudendangkan untukmu
Selain sepotong rindu untuk damaimu
Dan sepotong qunut yang kueja bersama pagi
“Tuhan kami, kami mohon bantuan-Mu, meminta ampunan-Mu, mengharap petunjuk-Mu, beriman kepada-Mu, bertawakkal kepada-Mu, memuji-Mu, bersyukur dan tidak mengingkari atas semua kebaikan-Mu, dan kami menarik diri serta meninggalkan mereka yang mendurhakai-Mu….”
Ungaran, 13 November 2023